Pada awal 1986 saya hadir di Seminar Sastera Melayu-Indonesia di Pekanbaru, Riau. Saya membentangkan kertas kerja Firdaus Abdullah: Antara Tradisi dan Moden. Pada waktu rehat saya singgah di ruang pameran buku di balkoni. “Nampaknya bapak minat dengan Tuanku Tambusai?” tegur gadis penjual itu. “Ya, lama sudah saya akrab dengan nama Tuanku,” jawab saya. “Saya teka. Ada hubungan darah dengan Tuanku Tambusai ya,” “Nenek saya, Sitiamin,” “Ohh, makanya,” BUKU yang mengisahkan perjuangan Tuanku Tambusai menentang penjajahan Belanda. Saya membeli buku itu. Saya ingin membacanya sesegera mungkin. Kertas kerja saya mengundang pembahasan…
Sila Log Masuk atau Langgan untuk membaca berita sepenuhnya